Nilai tukar Rupiah menembus level terendah atau sekitar IDR16.240 (per 17 April 2024) dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini tentunya memberikan kekhawatiran bagi pasar keuangan. Terdapat beberapa faktor yang bisa menjelaskan depresiasi Rupiah. Dari sisi eksternal, semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat serta situasi geopolitik yang memanas membuat rupiah melemah. Kedua kondisi ini, semakin menguatkan penguatan dolar karena terjadinya capital outflow yang turut memicu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Dari sisi domestik, inflasi Indonesia juga masih lebih tinggi dari ekspektasi. Tingkat inflasi yang diprediksi akan terus meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak dunia yang disebabkan oleh ketegangan di Timur Tengah. Kenaikan harga minyak tersebut, dapat menyebabkan inflasi pangan dan energi, serta inflasi impor akan tetap tinggi. Jika hal ini terus terjadi, pelaku usaha domestik yang menggunakan bahan baku impor akan terpaksa mengurangi produksi.
Merespons dinamika ini, ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dari sisi moneter, dalam jangka pendek Bank Indonesia perlu melakukan intervensi dengan berbagai bauran kebijakan seperti intervensi pasar melalui pembelian pasar obligasi, spot valuta asing dan domestic nondeliverable forwards (DNDF) atau menerbitkan berbagai surat berharga seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) dengan bunga yang lebih kompetitif. Bank Indonesia juga bisa menggunakan cadangan devisa secara bijak dalam menjaga Rupiah, mengingat posisi cadangan yang tersedia masih cukup baik. Pilihan terakhir tentunya dengan meningkatkan suku bunga sekitar 25bps, namun kebijakan ini perlu memperhatikan kondisi dalam negeri, khususnya dampaknya bagi sektor riil dan antisipasi terhadap kebijakan restrukturisasi kredit yang telah berakhir pada bulan Maret 2024.
Dari sisi fiskal, kebijakan terkait depresiasi mungkin tidak berhubungan langsung, tetapi kebijakan fiskal dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak depresiasi rupiah terhadap inflasi. Kebijakan perlindungan sosial seperti dukungan pendapatan dan juga realokasi anggaran subsidi energi menjadi salah satu alternatif. Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) mungkin juga dapat membantu otoritas moneter dalam menjaga nilai Rupiah. Meskipun demikian, pilihan kebijakan dari sisi fiskal juga perlu memperhatikan kapasitas fiskal Indonesia. Kebijakan fiskal yang prudent memberikan sinyal kepada investor bahwa risiko investasi di Indonesia akan sangat kecil, sehingga aliran dana masuk ke Indonesia bisa terjaga dan harapannya mampu mengurangi gejolak yang dihadapi oleh Rupiah.
Baca selengkapnya: