Fenomena Brexit dan Pelajaran Bagi Kerjasama Kawasan
Kiki Verico*
Tanggal 23-24 Juni 2016 menjadi sejarah bagi UK dan Uni Eropa (UE) karena baru pertama kali UE kehilangan anggota akibat referendum di negara anggotanya. UK keluar dari UE setelah lebih dari 40 tahun bergabung. Peristiwa ini membuat nilai tukar pound sterling melemah tajam terhadap US$ dan Euro. PM David Cameron menyatakan mundur dan publik UK sepertinya terhenyak akan cepat dan besarnya dampak Brexit ini pada pasar uang dan politik domestik UK. Kini situasi menjadi serba tidak pasti sehingga belum dapat diketahui berapa lama dan berapa besar dampak Brexit pada UK, UE dan dunia karena memang baru pertama kali ini negara anggota keluar dari UE.
Ada dua fenomena menarik sesaat setelah referendum. Pertama, banyaknya pengguna internet di UK yang mencari tahu tentang apa itu UE. Kedua, munculnya petisi yang meminta agar referendum diulang. Ekonom Kenneth Arrow melalui teori ketidakmungkinan (impossibility theorem) pernah mengingatkan soal konsekuensi tak terduga pada pengambilan keputusan dengan metode suara terbanyak atas pilihan yang membutuhkan pengetahuan mengingat adanya kesenjangan informasi antarpemilih. Bisa jadi fenomena di atas menunjukkan bahwa tidak semua pemilih memahami tentang UE dalam kaitannya dengan Brexit.
Peran Penting UK
Secara ukuran ekonomi UK adalah negara ketiga terbesar di UE setelah Jerman dan Perancis. UK adalah penerima investasi terbesar UE di mana separuh dari total investasi UK berasal dari UE. Sekitar 60 persen dari total investasi tersebut dialokasikan untuk sektor jasa. Hal ini terkait dengan kekuatan UK pada sektor keuangan di mana London adalah salah satu dari tiga besar pusat keuangan dunia di samping New York dan Tokyo. Walaupun UK bukan anggota Eurozone keterkaitan ekonomi UK dan UE tidak hanya pada sektor riil namun juga pada sektor keuangan. Tidak heran bila kestabilan fiskal UK juga diperlukan oleh UE untuk menjamin kestabilan moneter kawasan tersebut.
Teori Mundell-Fleming yang lahir bersamaan dengan ide pembentukan mata uang tunggal Eropa di awal 1970-an menyimpulkan bahwa kestabilan moneter membutuhkan kestabilan fiskal. Pada tahun 1992, teori ini digunakan UE dalam perjanjian Maastricht yang kemudian dikenal dengan kriteria Maastricht. Salah satu kriteria adalah negara anggota Eurozone harus menjaga defisit fiskal tahunan maksimal tiga persen per PDB dan proporsi total hutang publik maksimal 60 persen per PDB. Kini pakta kestabilan fiskal ini semakin diperlukan UE karena sejak 2008 kawasan ini ikut terimbas krisis keuangan dunia. Data menunjukkan bahwa tingkat kestabilan fiskal UK cukup rendah karena defisit anggaran pemerintah mencapai lebih dari enam persen per PDB per tahun dengan total hutang publik lebih dari 80 persen per PDB per tahun. UE membutuhkan kestabilan fiskal UK namun selain bukan anggota Eurozone, UK perlu mempertahankan kebebasan fiskalnya sebagai wujud kedaulatan politik domestiknya. Ketika UE meminta UK menandatangani pakta kestabilan fiskal pada Desember 2011, Perdana Menteri David Cameron menolak terutama setelah negara anggota lain juga menolak permintaannya atas safeguards Kota London (CER, Juni 2014). Inilah awal ketidakcocokan yang kemudian diikuti dorongan politik domestik untuk referendum.
Peristiwa Brexit memberikan pelajaran berharga bagi kerjasama kawasan, tidak hanya UE namun juga Asia Tenggara yang kini tengah memasuki masyarakat ekonomi ASEAN.
Kerjasama Ekonomi Asia Tenggara
Sejak tahun 1967 Asia Tenggara membangun kerjasama kawasan dan sejak tahun 1992 berkomitmen membentuk kawasan bebas perdagangan (ASEAN Free Trade Area). Dua puluh tiga tahun kemudian tepatnya awal 2016, kawasan ini mulai memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bila dilihat dari teori ekonomi kawasan, Asia Tenggara sudah bergerak dari kawasan perdagangan bebas ke masyarakat ekonomi yang mencakup kebebasan perdagangan barang, jasa dan mobilitas orang. Suatu saat ASEAN akan mencapai pasar tunggal sektor riil (Common Market) dan selanjutnya dapat menyatukan kebijakan moneter (Single Monetary Union) dan membentuk pasar uang tunggal (Single Currency) seperti apa yang telah dicapai UE sejak 2002.
Kendati masih lama, bila waktunya tiba, masalah penyatuan kebijakan moneter antarnegara anggota dan penciptaan mata uang tunggal dapat menjadi dilema bagi ASEAN karena kebijakan ini membutuhkan disiplin fiskal dari setiap negara anggota sementara fiskal adalah esensi kedaulatan politik domestik. Mengatur fiskal negara anggota sama saja dengan mengatur politik negara tersebut. Di masa depan Asia Tenggara memiliki dua pilihan agar tidak masuk dalam dilema ini. Pertama bertahan pada pencapaian pasar tunggal sektor riil yang mencakup barang, jasa dan orang. Pencapaian level ini sebenarnya cukup baik bagi kawasan. Lihat saja kerjasama kawasan Amerika Utara yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko yang sejak berdiri di tahun 1994 hingga saat ini tetap bertahan pada tingkat perdagangan bebas (NAFTA). Kedua, berusaha menyatukan kebijakan moneter dan menciptakan mata uang tunggal Asia Tenggara. Bila berhasil bertahan, bukan tidak mungkin ‘cara ASEAN’ akan menjadi alternatif teori kerjasama kawasan yang selama ini memang mengacu pada pengalaman empiris UE. Apa mungkin efektif?
Ada setidaknya dua alasan mengapa cara ASEAN bisa efektif. Pertama, kerjasama ASEAN lebih bersifat lunak karena dalam setiap proses pengambilan keputusan menggunakan musyawarah dan mufakat (consultation & consensus) tinimbang hukum dan pakta perjanjian. Bentuk kerjasama seperti ini berpotensi menjadi solusi atas kakunya kerjasama moneter dan fiskal di kawasan. Kekuatannya adalah ‘selamat’ namun kelemahannya adalah prosesnya ‘lambat’. Kedua, kerjasama ekonomi Asia Tenggara lebih bersifat market driven ketimbang government driven sehingga lebih bersifat reaksioner atas kondisi ekonomi yang terjadi. Misalnya ketika terjadi krisis ekonomi kawasan tahun 1997, ASEAN semakin menunjukkan keseriusan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas. Tanpa tekanan krisis, kawasan perdagangan bebas ASEAN kemungkinan berjalan di tempat. Akibat lebih bergantung pada kondisi pasar tinimbang target-target pemerintah, kerjasama ekonomi Asia Tenggara bersifat lebih alamiah dan stabil walaupun pergerakannya tidak bisa cepat.
Penutup
Ada setidaknya tiga pelajaran berharga bagi kerjasama kawasan dari Brexit. Pertama, integrasi ekonomi kawasan tidak harus sampai pada tingkat penyatuan kebijakan moneter dan penciptaan mata uang tunggal. Dua, integrasi moneter membutuhkan disiplin fiskal negara anggota yang tidak mudah dicapai karena akan mengurangi otoritas politik anggaran dan kebebasan domestik dalam menjalankan janji-janji politik. Tiga, mata uang tunggal walaupun tidak wajib namun bila ada negara anggota yang pasar uangnya kuat tetapi tetap memilih berada di luar kawasan mata uang tunggal maka dilema seperti apa yang terjadi pada UK dan UE bisa juga terjadi di kawasan lain. Sekarang adalah saat yang tepat bagi setiap kawasan untuk belajar memahami dinamika integrasi ekonomi secara utuh dari pengalaman UE, satu-satunya kawasan di dunia yang memiliki kebijakan moneter dan mata uang tunggal.
*Wakil Kepala Bidang Penelitian LPEM FEB UI