Rabu, 19 Februari 2014 | 03:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Teguh Dartanto, Dosen dan Peneliti UI
Genderang kampanye Pemilu 2014 sudah ditabuh. Para calon anggota legislatif DPR/DPRD/DPD berlomba-lomba mempercantik diri, menebar simpati dan janji, menyiapkan strategi dan amunisi, serta berusaha menutupi kekurangan diri untuk memuluskan jalan menjadi anggota Dewan yang terhormat di negeri ini. Seberapa besar pengorbanan/investasi politik yang masuk akal untuk menjadi seorang anggota dewan selalu menyisakan tanda tanya besar.
Seorang calon legislator yang rasional hanya akan melakukan pengorbanan/investasi politik sebanding dengan apa yang akan didapatkan ketika duduk manis menjadi anggota Dewan. Marilah kita telisik seberapa besar pendapatan menjadi anggota DPR dan DPRD di Indonesia. Berdasarkan laporan Sekretariat Jenderal DPR, bahwa take-home pay anggota DPR adalah sebesar Rp 1.075.493.600 per tahun, yang terdiri atas penerimaan bulanan sebesar Rp 53.273.866, gaji ke-13, dan dana reses sebesar Rp 420 juta per tahun. Dengan demikian, dalam kurun waktu lima tahun, harapan pendapatan (expected income) menjadi anggota DPR adalah Rp 5,4 miliar. Sedangkan take-home pay anggota DPRD provinsi adalah Rp 357.430.000 per tahun, yang terdiri atas penerimaan bulanan sebesar Rp 24.736.750, gaji ke-13, dan dana reses Rp 48 juta per tahun. Dalam kurun lima tahun, maka pendapatan menjadi anggota DPRD provinsi adalah sebesar Rp 1,8 miliar.
Sangat wajar jika banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi anggota DPR, karena tidak banyak pekerjaan yang menawarkan penghasilan lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Dengan harapan penghasilan seperti di atas, sangat wajar ketika ada calon legislator DPR mengeluarkan biaya investasi politik (dana kampanye) sebesar Rp 1-2 miliar untuk biaya kampanye di Pemilu 2014. Jika kita menambahkan faktor non-ekonomi seperti kekuasaan, status sosial dan penghormatan, serta pendapatan tidak resmi (unofficial income), akan sangat wajar jika calon legislator mengeluarkan biaya kampanye sebesar Rp 2-4 miliar karena harapan penghasilan (expected income) jauh melebihi biaya investasi politik.
LPEM FEUI (2014) dengan menggunakan teori investasi klasik mencoba menghitung biaya investasi politik (dana kampanye) yang optimal dan wajar untuk caleg DPR, DPRD, dan DPD untuk masing-masing provinsi di Indonesia. Secara garis besar, perhitungan biaya investasi politik adalah perkalian antara peluang terpilih menjadi anggota Dewan dan nilai harapan pendapatan sebagai anggota Dewan. Seorang anggota legislatif yang rasional akan berhitung mengenai kemungkinan/peluang terpilih sebagai anggota Dewan dalam mengeluarkan dana kampanye. Jika merasa memiliki kesempatan terpilih yang besar, mereka akan mengalokasikan dana yang besar untuk berinvestasi politik (dana kampanye). Dengan membandingkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan dengan jumlah caleg, peluang terpilih menjadi anggota DPR adalah 8,21 persen. Sedangkan peluang terpilih menjadi anggota DPRD adalah 8,99 persen, dan menjadi anggota DPD adalah 14,21 persen. Berdasarkan data ekspektasi pendapatan menjadi anggota Dewan dan peluang keterpilihan, dana investasi politik (dana kampanye) 2014 yang optimal untuk caleg DPR adalah sebesar Rp 393,84 juta, dan caleg DPRD provinsi sebesar Rp 160,4 juta. Biaya investasi politik Pemilu 2014 untuk masing-masing provinsi sangat bervariasi, di mana investasi politik termahal untuk caleg DPR ada di Kepulauan Riau dan Papua. Jika kita memasukkan faktor non-ekonomi, seperti kekuasaan, status sosial, dan penghormatan dalam perhitungan, dana investasi politik Pemilu 2014 yang optimal adalah berkisar Rp 712-852 juta per caleg DPR dan Rp 199-287 juta per caleg DPRD provinsi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan tidak resmi anggota Dewan jauh lebih besar dibandingkan dengan penghasilan resmi. Jika kita memasukkan penghasilan tidak resmi (unofficial income) dalam perhitungan, biaya investasi politik/dana kampanye yang optimal dalam Pemilu 2014 untuk caleg DPR berkisar Rp 1-1,23 miliar, sedangkan untuk caleg DPRD sekitar Rp 298-570 juta.
Semakin besar harapan caleg terhadap penghasilan tidak resmi, semakin besar pula investasi dana kampanye yang dikucurkan. Dengan mempertimbangkan pendapatan resmi, nilai non-ekonomi, serta pendapatan tidak resmi yang wajar dan tidak melanggar undang-undang, biaya investasi politik/dana kampanye yang optimal/wajar Pemilu 2014 adalah sebesar Rp 750 juta-Rp 1 miliar per caleg DPR dan sebesar Rp 250-500 juta per caleg DPRD provinsi. Investasi politik sebesar angka ini tidak menjamin caleg akan terpilih. Tapi, jika kurang dari angka tersebut, peluang terpilih sangat kecil.
Caleg yang jorjoran, ketika terpilih, memiliki kecenderungan untuk mengembalikan modal kampanye dengan cara-cara korupsi yang merusak nurani dan melanggar hukum. Karena itu, suatu saat nanti perlu ada peraturan pembatasan dana kampanye untuk para caleg, sehingga akan tercipta pemilu yang lebih sehat, bukan transaksional, serta memberikan kesempatan yang luas bagi caleg modal ide.
http://www.tempo.co/read/kolom/2014/02/19/1134/Biaya-Investasi-Politik-2014