Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Indonesia

Pencarian
Tutup kotak telusur ini.

Mengkritik Kebijakan 'Transfer Tunai'

Jumat 6 September 2013

KENAIKAN harga minyak dunia di kisaran US$60-70/barel semakin membebani APBN, terutama pos subsidi BBM yang membengkak dari Rp76 triliun menjadi Rp130 ​​triliun. Kondisi tersebut dan ditambah melemahnya nilai tukar rupiah memaksa pemerintah untuk tidak menunda-nunda menaikkan harga BBM.

Untuk mengurangi dampak kenaikan BBM terhadap kelompok miskin maka pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi langsung berupa transfer tunai, yang akan diujicobakan pada bulan Oktober.

Berdasarkan hasil sidang kabinet, pemerintah memutuskan akan memberikan tunjangan sebesar Rp100.000/bulan/kepala keluarga (KK) kepada sekitar 15,5 juta KK atau sekitar 62 juta rakyat miskin (Media Indonesia, 10/9).

Program ini akan digelar mulai Oktober hingga akhir tahun dengan total dana sebesar Rp4,6 triliun.

Secara teoritis kebijakan transfer tunai lebih baik jika dibandingkan dengan subsidi BBM seperti yang terjadi selama ini, di mana sebagian besar BBM dinikmati kelompok nonmiskin. Berdasarkan teori kompensasi variasi (Varian, 1996) menunjukkan bahwa transfer tunai akan mengembalikan daya beli kelompok miskin pada kondisi yang semula, yaitu kondisi daya beli sebelumnya
adanya kenaikan harga BBM.

Selain itu, secara politis kebijakan ini merupakan wujud tanggung jawab negara kepada kelompok miskin seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Meskipun kebijakan transfer tunai memiliki justifikasi yang kuat baik secara teori ekonomi dan politik, implementasi di lapangan tidaklah seperti yang dibayangkan. Oleh karena itu, setiap kebijakan akan membawa dampak, baik secara positif maupun negatif.

***

Kebijakan kenaikan harga BBM dan transfer tunai secara masif kepada 15,5 juta KK akan menimbulkan tekanan pada inflasi dari sisi penawaran dan sisi permintaan.

Kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan biaya produksi sehingga harga barang akan naik, sedangkan transfer secara masif akan mendorong peningkatan permintaan di pasar barang. Berdasarkan hukum ekonomi, jika permintaan naik, sedangkan penawaran barang tetap maka akan mendorong harga barang akan naik.

Kombinasi dua faktor tersebut akan mendorong naiknya inflasi lebih dari dua persen dan inflasi tahunan berada di atas dua digit. Kenaikan inflasi akan mendorong otoritas moneter untuk menaikkan suku bunga SBI.

Dampak yang sangat besar dari kebijakan ini adalah dampak sosial. Meskipun dampak ini tidak mudah untuk dikuantifikasi, kebijakan transfer masif menyimpan potensi yang besar untuk menyulut kejahatan sosial, merusak tatanan, dan ikatan sosial di tingkat bawah.

Berdasarkan pengamatan saya pada kasus penyaluran beras miskin (raskin) di sebuah desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa ketika raskin hanya diberikan kepada kelompok miskin, ternyata menimbulkan kebisingan bagi kelompok yang nyaris miskin dan tidak miskin.

Hal ini terbukti ketika ada kegiatan kerja bakti desa, kelompok yang tidak menerima raskin tidak datang kerja bakti karena merasa dianaktirikan dan merasa kerja bakti adalah tanggung jawab penerima raskin saja.

Berdasarkan pengalaman tersebut aparat pemerintah desa bersama tokoh masyarakat dan BPD memutuskan raskin dibagi rata untuk kelompok miskin dan hampir miskin. Aparat desa juga menyadari Pembagian yang merata adalah menjalankan prosedur dari pusat, namun kebijakan ini diambil untuk mengurangi sinkronisasi dan tetap menjaga ikatan sosial di antara masyarakat.

Bagi kelompok miskin yang sebetulnya paling berhak atas raskin, akhirnya menyadari lebih baik berdamai dengan lingkungan sekitar walaupun menerima beras yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Mengajari masyarakat untuk sadar bahwa yang berhak menerima raskin adalah kelompok miskin saja dan yang lain tidak berhak menerima, mungkin sama susahnya mengajari aparatur pemerintah untuk tidak melakukan korupsi.

Kondisi di atas memang tidak bisa digeneralisasikan untuk kasus Indonesia, namun kondisi tersebut bisa memberikan gambaran kepada para pengambil kebijakan ada masalah sosial yang mungkin akan timbul dari kebijakan subsidi secara langsung.

Kebijakan ini juga dapat menjadi disinsentif bagi kelompok miskin penerima subsidi agar tidak mencari pekerjaan atau berusaha mandiri untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Selain itu, subsidi kebijakan secara langsung juga akan mempengaruhi pasar tenaga kerja, yaitu akan mendorong kenaikan tingkat upah.

Hal ini disebabkan daya tawar kelompok miskin dan penganggur penerima subsidi akan semakin kuat. Mereka akan memilih menganggur dan menikmati dana transfer jika upah yang diterima tidak lebih besar dibandingkan dengan dana transfer. Kenaikan upah merupakan sebuah dilema tersendiri, di satu sisi akan memperbaiki kehidupan kelompok pekerja, namun di sisi lain akan mempengaruhi iklim usaha di Indonesia.

***

Kalaupun pemerintah benar-benar mengimplementasikan kebijakan transfer tunai, pemerintah harus menegaskan dari awal bahwa kebijakan ini hanya untuk tiga bulan atau enam bulan saja. Sehingga, pemerintah tidak mengulangi kesalahan seperti kebijakan BBM yang sulit untuk mencabutnya.

Ketegasan pemerintah mengenai batas waktu kebijakan transfer tunai selain meringankan beban anggaran pemerintah, juga akan memberikan insentif bagi kelompok penerima subsidi untuk berinisiatif mencari pekerjaan atau membuka usaha untuk menyokong kehidupan berkelanjutan setelah tidak adanya subsidi.

Selain itu, penyeragaman jumlah bantuan sebesar Rp100.000/bulan/KK merupakan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, karena kebijakan ini lebih menguntungkan KK yang jumlah anggotanya sedikit dan penduduk miskin pedesaan dibandingkan dengan KK anggota keluarganya lebih banyak serta penduduk miskin perkotaan.

Sedangkan dampak kenaikan harga BBM lebih dirasakan oleh kelompok miskin perkotaan dan KK yang jumlah anggotanya banyak. Penyesuaian terhadap jumlah bantuan berdasarkan wilayah dan jumlah anggota keluarga merupakan langkah yang bijaksana dan dapat mewujudkan keadilan.

Pemerintah sebaiknya juga memikirkan kebijakan alternatif-alternatif yang mempunyai dampak besar terhadap kelompok miskin dengan mengalihkan dana hemat BBM ke arah yang bersifat produktif.

Misalnya, pemerintah tidak perlu melakukan transfer tunai, tetapi memodifikasi kebijakan raskin menjadi raskin plus, yaitu raskin + uang lauk-pauk (yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah garis kemiskinan nonmakanan, sekitar Rp50.0000), sedangkan sisa dananya dapat digunakan untuk kegiatan padat karya pembangunan infrastruktur di pedesaan, subsidi pendidikan dasar, pengembangan Posyandu, dan program-program kesehatan masyarakat lainnya.

Kegiatan-kegiatan tersebut akan memberikan dampak ganda. Pada jangka pendek program karya yang padat akan mampu menciptakan lapangan kerja dan mempercepat pembangunan infrastruktur dan pada jangka panjang akan meningkatkan kapasitas modal manusia. Di sisi lain kebijakan yang bersifat produktif akan memberikan pelajaran yang berharga bagi kelompok miskin, hanya kekuatan diri sendirilah yang dapat mengubah nasib mereka.

Meskipun kebijakan bantuan tunai di berbagai negara barat cukup sukses, pemerintah harus berhati-hati dalam mengimplementasikan kebijakan ini, jangan asal menjiplak tanpa melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.***

Teguh Dartanto
Mahasiswa Peneliti
Sekolah Pascasarjana Ekonomi
Universitas Hitotsubashi
Jepang

Posting Terakhir

Laporan Khusus: Depresiasi Rupiah, Perlukah Panik?

Kamis 25 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Rapat Dewan Gubernur BI, April 2024

Rabu 24 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Inflasi Bulanan, April 2024

Kamis 4 April 2024

Kebutuhan Pelatihan Pekerja Migran Indonesia (Labour Market Brief, Maret 2024)

Jumat 29 Maret 2024

Posting terkait

depresiasi rupiah

Kamis 25 April 2024

Laporan Khusus: Depresiasi Rupiah, Perlukah Panik?

Rabu 24 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Rapat Dewan Gubernur BI, April 2024

inflasi bulan April

Kamis 4 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Inflasi Bulanan, April 2024

Terjemahkan »