Abstrak
Selama tahun 2013–2016, terdapat perubahan kebijakan pembebasan Pajak Penghasilan (PIT) Orang Pribadi yang tertuang dalam PMK No. 162/PMK.011/2012, PMK No. 122/PMK.010/2015, dan PMK No. 101/PMK. 010/2016. Meski demikian, sejauh pengetahuan saya, belum ada studi empiris yang mengevaluasi kebijakan ini. Peningkatan pengecualian PIT dapat dilihat dari aspek distributif, yaitu bagaimana pembagian keuntungan (benefit) terhadap pendapatan disposabel wajib pajak, serta dari aspek efisiensi, apakah mempengaruhi pasokan tenaga kerja atau tidak. Penelitian ini mengeksplorasi aspek efisiensi. Para agen – yang merupakan wajib pajak sebagai pekerja – kini mungkin mengalami peningkatan pendapatan bersih karena adanya pengecualian yang lebih besar, dan apakah kebijakan pengecualian PIT dapat mempengaruhi pasokan tenaga kerja wajib pajak masih merupakan pertanyaan empiris. Saya menggunakan data SAKERNAS dari tahun 2010–2018 dan model estimasinya terbatas pada hanya mempertimbangkan pekerjaan yang dibayar (tenaga kerja) dan bukan wirausaha. Pada pekerjaan yang dibayar (tenaga kerja), perusahaan berfungsi sebagai pemotongan yang dapat mengambil sebagian PIT dari gaji pekerja, dan dengan demikian pekerja (buruh) yang dibayar kemudian dapat mengajukan pengembalian PIT. Hasil awal saya menunjukkan bahwa dampak perubahan kebijakan pengecualian PIT bersifat heterogen antar kelompok masyarakat. Perluasan pengecualian PIT meningkatkan pasokan tenaga kerja dari pekerja yang dibayar (tenaga kerja) dari kelompok pendapatan PIT yang sebelumnya terendah. Namun, meskipun penghematan pajak mungkin lebih tinggi bagi individu berpendapatan menengah dan tinggi, wajib pajak yang mengacu pada individu dalam kelompok pendapatan dengan tarif 15% cenderung tidak terpengaruh oleh kebijakan pembebasan PIT.