Penurunan suku bunga acuan BI bulan lalu menjadi 3,75% dalam upaya mendorong pemulihan ekonomi tidak tercermin pada depresiasi Rupiah, berkat kepercayaan investor di pasar domestik. Rupiah relatif terkendali di tengah kondisi pandemi yang berkepanjangan dan tidak menentu. Namun, masih belum ada tanda-tanda perbaikan pada permintaan agregat dalam jangka pendek, karena kenaikan inflasi pada bulan lalu terutama disebabkan oleh kenaikan harga akibat kurangnya pasokan bahan pangan selama musim hujan. Terlepas dari tanda-tanda pemulihan permintaan global yang tercermin dari nilai ekspor Indonesia di bulan November yang lebih tinggi dari perkiraan, pemulihan ekonomi secara keseluruhan masih belum pasti karena kita harus melihat kondisi masalah kesehatan dan efektivitas vaksin di masa mendatang. Namun, rencana pembatasan sosial yang lebih ketat akibat kasus pandemi yang semakin parah di seluruh dunia sejak awal bulan Desember harus diperhitungan pada proses pengambilan keputusan kebijakan oleh pemerintah dan juga BI. Jika pemberhentian aktivitas berlangsung secara keseluruhan sebagai upaya mengurangi potensi lonjakan kasus selama libur akhir tahun, konsumen akan menahan pengeluarannya sehingga permintaan agregat akan tetap rendah. Lebih lanjut, investor akan melihat hal ini sebagai gambaran pemulihan ekonomi yang lebih suram dan mereka akan menahan atau mengembalikan aset mereka ke pasar yang lebih aman. Mempertimbangkan kondisi krisis kesehatan yang berkepanjangan dan potensi penerapan
pembatasan sosial yang lebih ketat, pelonggaran moneter dengan pemotongan suku bunga akan menjadi terlalu membebani dan berisiko bagi stabilisasi Rupiah.