Akhir Agustus hingga awal September ditandai dengan depresiasi Rupiah yang cukup tajam hingga hampir menyentuh titik Rp15.000, meskipun tekanan terhadap Rupiah saat ini sudah relatif mereda. Pelemahan ini terutama didorong oleh tekanan global yang datang dari sektor eksternal. Berlanjutnya efek domino krisis di beberapa negara berkembang, mulai dari Turki, Argentina, hingga Afrika Selatan, mendorong investor untuk mencari aman dan keluar dari negara-negara berkembang. Lebih dari itu, eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali membawa dampak negatif terhadap stabilitas Rupiah. Kami melihat bahwa konsistensi dan kredibilitas Bank Indonesia dalam mempertahankan nilai tukar cukup kuat sehingga kami melihat bahwa Indonesia tidak akan menghadapi episode depresiasi yang signifikan seperti Argentina, Turki, maupun Afrika Selatan. Namun, masih tingginya potensi tekanan eksternal dan posisi neraca transaksi berjalan yang terus negatif membuat BI perlu terus mengantisipasi potensi gejolak di pasar dengan kembali menaikkan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) mendatang.